Kamis, 13 Desember 2007

Master Profile

Anand Patwardhan

Anand Patwardhan lahir pada 1950. Ia telah membuat film dokumenter yang mengangkat isu politis, perbedaan, dan kontroversi yang merupakan permasalahan kehidupan sosial dan politik di India. Beberapa dari filmnya dicekal di India dan menjadi subyek yang dipermasalahkan di depan peradilan.

Patwardhan menyelesaikan studi Sastra Inggris di Bombay University dan sosiologi di Brandeis University pada tahun 1970. Tahun 1982, ia menyelesaikan studi komunikasi di McGill University. Patwardhan ikut serta pada pergerakan anti Perang Vietnam tahun 1970-1972; sebagai relawan dalam Caesar Chavez’ United Farm Workers Union tahun 1972; Kishore Bharati, proyek pembangunan dan pendidikan di daerah pedesaan India Tengah (1972-1974); dan berbagai gerakan demokrasi dan pembelaan HAM.

Film-film Patwardhan berkali-kali berhadapan dengan pencekalan pemerintah India, yang berhasil diatasinya melalui proses pengadilan. War and Peace (2002) menjadi isu utama ketika CBFI India (Center Board for Film Certification, lembaga sensor di India) menolak untuk meloloskan film tersebut. Seperti biasanya, Patwardhan membawa kasus tersebut ke pengadilan dan akhirnya memenangkan gugatan tersebut tanpa perlu melakukan sensor sedikit pun. Sejak beberapa filmnya memenangkan penghargaan, Patwardhan memenangkan gugatannya di pengadilan melawan Doorshan, broadcaster nasional yang cukup disegani di India, untuk menayangkan film-filmnya di jaringan TV nasional.

Peter Wintonick

Peter Wintonick lahir di Trenton, Kanada, pada 1953. Ia lulusan Algonquin College’s Film Production Centre, Ottawa dan kini menjadi pengajar studi dan teori film di Condordia University, Montreal, dan dosen tamu di berbagai universitas di seluruh dunia.

Wintonick pernah menjadi produser, sutradara, kritikus film, dan co-founder salah satu situs global film independen, Virtual FF. Bersama Mark Achbar, ia menghasilkan Manufacturing Consent: Noam Chomsky and the Media yang berhasil memenangkan 22 penghargaan internasional dan diputar di lebih 50 festival film dunia.

Peter Wintonick secara regular menulis di majalah-majalah film internasional dan menjadi penasehat dan pemateri utama pada berbagai festival, termasuk Amsterdam’s IDFA, Montreal New Cinema and New Media Festival, The Berlinale, dan The Buenos Aires International Film Festival of Independent Film.

Michael Sheridan

Michael Sheridan adalah seorang sineas dokumenter dan videosonic art. Ia banyak mengangkat isu sosial serta batasan-batasan tipis antara keteraturan dan kekacauan. Ketertarikan Sheridan pada isu ini berawal dari pengalaman pribadi tentang keretakan hingga bersatu kembali keluarganya dan keseimbangan masyarakat di ujung kehancuran dan pemulihan keadaan dari konflik dan bencana.

Seluruh karya Sheridan dipengaruhi oleh perjalanannya ke Eropa, Asia Selatan, Afrika, dan Amerika. Karya-karyanya pernah muncul di PBS, The Learning Channel, The Discovery Network, dan National Geographic TV. Ia pernah memperoleh beberapa penghargaan di antaranya dari the National Education Media Network, the Columbia International Film and Video Festival, the United Nation Association Film Festival, dan Earth Vision.

Saat ini Sheridan mendapatkan Fulbright Senior Scholar, beasiswa selama 1 tahun untuk mengajar dan mengerjakan project film barunya di Indonesia.

Lexy J Rambadetta

Lexy memulai debut film dokumenter dengan sebuah film berjudul Mass Grave, tahun 2006, Lexy memenagi penghargaan film terbaik Festival Film Dokumenter untuk Kategori Umum. Film-filmnya mempunyai perhatian yang besar terhadap masalah-masalah politik dan hak asasi manusia. Dengan rumah produksinya, Off Stream, Lexy sekarang mengerjakan dokumenter untuk program-program televisi eropa.

Tonny Trimarsanto

Gerabah plastik, film dokumenter Tonny Trimarsanto memenangkan penghargaan film terbaik FFD pada tahun 2002. Tahun 2007, film Renita Renita memengangkan penghargaan film pendek dokumenter terbaik di Cinemanila International Film Festival di Filipina.

Peserta Master Class

Peserta Finalis:

Zainal Abidin, [Bety Suryawati]

Nanki Nirmanto

Garry Vichardo Maghasty

Lusyanne Erhid Salla dan Syamsir

Nendra Primonik

Alvi Apriyandi

Sakti Parantean

Yuslam Fikri Ansari (Yufik)

K. Ardi / Dany Cubluk

Dhani Agustinus,[Indraswari Paramita ]

Rabernir

Fozan Santa

Wawan Sumarmo

Peserta Undangan:

Suratno [malang]

BW. Purbanegara [popo]

Fais Cemong [jakarta]

Sony [manado]

Jemmi [Kendari]

Agus Purwanto [Jogjakarta]

Agus Noer [Etnoreflika]

Seno Aji [Four colour]

Observer:

Fajrian [Metro TV – Eagle award]

Anisti [BSI]

Term of References Master Class

ENCOURAGING INDONESIAN DOCUMENTARY

Masterclass

10-15 Desember 2007

Latar Belakang

Film dokumenter Indonesia berkembang dengan baik pada dasawarsa terakhir ini. Ada banyak produksi film dokumenter, baik oleh para filmmaker profesional maupun pendatang baru. Festival, kompetisi, dan workshop film yang banyak dilaksanakan di Indonesia juga memberi ruang yang cukup luas bagi perkembangan film dokumenter.

Produksi film dokumenter terutama mulai berkembang dari lingkungan lembaga swadaya masyarakat, berupa film-film penyuluhan dan reportase program mereka. Beberapa televisi swasta juga mengembangkan program film dokumenter dalam berbagai variasi tematik, terutama berbentuk reportase investigatif dan kisah perjalanan. Di sisi lain, filmmaker yang memiliki minat utama pada film dokumenter juga semakin produktif menghasilkan karya, baik berdasarkan pesanan dan proyek khusus ataupun program mandiri mereka sendiri, antara lain untuk disertakan dalam berbagai festival di dalam dan luar negeri. Banyaknya festival dan kompetisi film dokumenter juga mendorong antusiasme dari para filmmaker pemula, yang sebagian di antaranya berhenti pada satu atau dua film awal mereka, tetapi sebagian yang lain meneruskan proses kreatif mereka di bidang film dokumenter.

Festival dan kompetisi film dokumenter di Indonesia sendiri sebagian besar masih menjadikan film dokumenter sebagai program ikutan, sebagai tambahan dari program utama di bidang film fiksi. Beberapa festival besar dan permanen yang memiliki program film dokumenter, antara lain: Festival Film Indonesia (FFI) dan Jakarta International Film Festival (JIFFEST). Beberapa festival yang lain adalah: Slingshort, Festival Film Pendek Konfiden, S13fest, South to South Film Festival, Q Film Festival, JAFF-NetPac, dan yang lainnya. Program film dokumenter yang sempat mendapat perhatian besar dari masyarakat adalah Eagle Award, yang dilaksanakan oleh MetroTV dan Indocs, berupa kompetisi naskah film dokumenter oleh filmmaker pemula yang kemudian mendapat pelatihan dan bantuan teknis dalam produksi akhir. Program ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh JIFFEST, yang melaksanakan kompetisi script development, dengan finalis mendapatkan pelatihan teknis dan pemenang akhir mendapat bantuan dana produksi.

Selain festival dan kompetisi, film dokumenter juga marak berkembang dengan adanya pelatihan atau workshop singkat film dokumenter, yang dilaksanakan oleh beberapa lembaga, antara lain: Indocs., IKJ dan The Bodyshop Indonesia, LkiS, Kampung Halaman, LSM-LSM lokal, dan yang lainnya. Program-program ini terutama ditujukan untuk sineas pemula dan para pelajar.

Permasalahan

Dari berbagai festival dan kompetisi yang dilaksanakan di Indonesia, beberapa catatan berikut merupakan kritik utama terhadap flm dokumenter Indonesia, baik karya filmmaker pemula maupun profesional. Catatan-catatan ini terutama diperoleh dari catatan dewan juri yang biasa disertakan dalam pengumuman pemenang kompetisi.

  1. Masih lemahnya kemampuan teknis dan estetis dari filmmaker, terutama para filmmaker pemula.
  2. Film dokumenter yang ada sebagian besar masih bersifat konvensional dan sangat dipengaruhi oleh gaya film dokumenter televisi.
  3. Tema film dokumenter Indonesia terutama berada pada arus besar keberpihakan pada tema-tema marjinal, antara lain: potret personal dan sosial kelompok miskin, lingkungan alam dan tradisi-budaya pinggiran, dan kecenderungan untuk menampilkan mereka yang kalah dan terkalahkan.
  4. Secara teknis, film-film dokumenter yang muncul memiliki alur dengan pola naratif dan linear.
  5. Riset dan pengembangan ide dengan perspektif tunggal dan sempit.
  6. Perlunya pengembangan yang lebih mendalam kemampuan para filmmaker yang mulai memiliki pola pendekatan personal dan gaya penggarapan observasional.

Masterclass adalah program yang terdiri dari lima hari workshop, diskusi, klinik film dan forum dengan Filmmaker dan praktisi dokumenter nasional dan internasional. Mengundang 30 partisipan dari sutradara yang masuk nominasi seksi kompetisi dan 10 observer yang disaring panitia. Program ini diharapkan dapat memberikan wacana baru, memperkuat pengetahuan dan ketrampilan teknis dan estetis, meningkatkan apresiasi dan mendorong perkembangan film dokumenter Indonesia. Tujuan utama program ini adalah penguatan filmmaker muda indonesia, membangun kultur dokumenter, membangun jaringan antar filmmaker muda nasional dan international.

Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, program Master Class Film Dokumenter Indonesia ini memiliki tujuan utama sebagai berikut:

  1. Pengayaan wacana film dokumenter bagi filmmaker dokumenter Indonesia.
  2. Meningkatkan kepercayaan diri filmmaker dokumenter Indonesia untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, sekaligus memproduksi film dokumenter.

Format

Program ini dilaksanakan dengan beberapa format tatap muka, yakni:

  1. Kuliah, pemberian materi oleh narasumber, dilanjutkan dengan tanya-jawab.
  2. Workshop, satu materi dibahas bersama oleh narasumber dan peserta, dikembangkan dalam praktik dan aplikasi oleh peserta.
  3. Klinik, temu konsultatif para peserta kepada narasumber. Setiap peserta menyampaikan persoalan dan pertanyaan yang akan dipetakan dalam beberapa kelompok besar untuk dibahas oleh narasumber yang berkompeten.
  4. Diskusi Partisipatif, pembahasan satu materi oleh seluruh peserta, bersifat tukar gagasan dan pengalaman.

Materi

Program ini menggali dan mengembangkan beberapa materi pokok, yakni:

  1. Bentuk dan genre film dokumenter
  2. Penggalian ide dan pengembangan gagasan
  3. Riset dan penggarapan
  4. Suplemen film dokumenter Indonesia, yakni: publikasi dan distribusi (diseminasi), jaringan kerja dan apresiasi, dan dokumentasi dan edukasi.

A. Bentuk dan Genre

1. Apa dokumenter itu?

a. Prinsip dasar dan aspek estetik film dokumenter, bersifat teoritis, diberikan dalam format kuliah umum.

b. Sejarah dan perkembangan film dokumenter, pembahasan materi ini bersifat umum dan general, disampaikan dalam format kuliah umum.

c. Genre dan bentuk, bersifat teoritis, dengan format kelas kuliah umum.

2. Studi kasus film dokumenter, akan membahas film-film dokumenter Indonesia dan dunia, terutama dengan mengambil materi tren dan film dokumenter yang faktual, dengan format kelas kuliah dan diskusi partisipatif, narasumber utama filmmaker profesional Indonesia, pengamat film, dan pemateri luar.

B. Penggalian Ide dan Pengembangan Gagasan

a. Presentasi peserta, diambil dari beberapa finalis, dengan memperhatikan keragaman. Materi ini akan dibahas oleh narasumber dan seluruh peserta, dengan format kelas berupa diskusi partisipatif.

b. Materi oleh narasumber, kemudian dicoba secara aplikatif oleh peserta, dengan format kelas workshop.

C. Riset dan Penggarapan

a. Presentasi peserta, diambil dari beberapa film finalis, dengan memperhatikan keragaman. Materi ini akan dibahas oleh narasumber dan seluruh peserta, dengan format kelas berupa diskusi partisipatif.

b. Materi oleh narasumber, kemudian dicoba secara aplikatif oleh peserta, dengan format kelas workshop.

D. Suplemen film dokumenter Indonesia

Adalah materi tambahan dalam bidang-bidang publikasi dan distribusi (diseminasi), jaringan kerja dan apresiasi, dan dokumentasi dan edukasi. Materi ini dikembangkan dengan format diskusi partisipatif oleh seluruh peserta. Selain itu, program suplemen ini juga dipresentasikan dalam diskusi-diskusi tambahan, yakni: “Filmmaking in the Eye of the Storm”, “Guerilla Filmmaking”, “Confession”, “Sound Session”, dll.

Senin, 23 Juli 2007

Program ini adalah kompilasi lima hari workshop, diskusi, klinik film dan sharing dengan expert dokumenter nasional dan internasional. Dirangkai dalam Master Class yang mengundang 30 partisipant dari sutradara yang masuk nominasi seksi kompetisi dan 10 observer yang disaring panitia.

Program ini diharapkan dapat memberikan wacana baru, memperkuat pengetahuan dan ketrampilan teknis dan estetis, meningkatkan apresiasi dan mendorong perkembangan film dokumenter Indonesia. Tujuan utama program ini adalah penguatan filmmaker muda indonesia, membangun kultur dokumenter, membangun jaringan antar filmmaker muda nasional dan international expert.

Program ini direncanakan mengundang Mark Achbar (Canadian Filmmaker, Director and Producer of “The Corporation”), Rakesh Sharma (Indian Filmmaker, Director of “Final Solution” and “After Shock”), Leonard R Helmrich (Dutch Filmmaker, Director of “Shape of the Moon”, Promised Paradise”), dan filmmaker senior Indonesia: Garin Nugroho, Aryo Danusiri, dan Lexy Jr Rambadetta.

Master Class Dokumenter Indonesia diadakan sebagai rangkaian program Kompetisi Film Dokumenter Indonesia pada Festival Film Dokumenter. Selama 5 hari, nominator atau finalis dari dua kategori kompetisi FFD akan bertemu dan menimba ilmu kepada 3 orang pakar film dokumenter internasional yang khusus diundang untuk memaparkan pengalaman dan pengetahuannya kepada pembuat film dokumenter Indonesia. Selama program ini berlangsung, peserta Master Class juga akan ditemani oleh tokoh-tokoh senior film dokumenter nasional sebagai pendamping selama proses pelatihan berlangsung. Program ini terbagi dalam tiga kelas yang akan membahas elemen-elemen dasar dalam film dokumenter, yakni: Kelas Riset dan Pra-produksi, Kelas Produksi, dan Kelas Pasca Produksi.

Peserta
Program ini akan diikuti oleh 20 peserta terpilih dari nominasi kompetisi film dokumenter kategori pemula dan kategori umum, ditambah 10 peserta undangan sebagai peninjau. Penyelenggara akan memberikan subsidi biaya transportasi dan akomodasi peserta selama program berlangsung